Rabu, 24 September 2008

Draf RUU Rumah Sakit























































































































































































































NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG RUMAH SAKIT

Oleh : Dr. Kartono Muhammad


PENDAHULUAN


Rumah sakit di Indonesia berkembang secara unik yang mungkin berbeda dengan perkembangan rumah sakit di negara-negara lain. Di negara-negara Eropa rumah sakit pada awalnya dikembangkan oleh kebersamaan masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Baru setelah ide pembiayaan bersama muncul, pemerintah ikut turut campur tetapi lebih kepada pengaturan mekanisme pembiayaan bersama tersebut. Di Indonesia, pada awalnya rumah sakit didirikan dan milik pemerintah Hindia Belanda yang merupakan lanjutan gagasan rumah sakit militer. Sejak tahun 1919 perhatian pemerintah Hindia Belanda lebih kepada upaya preventif dan promotif, sementara penyediaan rumah sakit diserahkan kepada masyarakat (perkumpulan Yang Seng Ie, untuk masyarakat Cina) dan kepada Missi Zending dan organisasi berlatar belakang agama lainnnya. Kebijakan itu rencananya akan dilanjutkan oleh pemerintah RI seperti yang ditulis oleh Dr. Leimena di tahun 1955.


Tetapi pada tahun 1957 terjadi keretakan hubungan Indonesia dengan Belanda yang cukup parah sehingga semua asset Belanda ketika itu diambil alih (dinasionalisasi) oleh pemerintah RI, termasuk rumah sakit dan bahkan apotek (Van Gorkom yang kemudia menjadi Kimia Farma). Sejak saat itu pemerintah harus mengelola banyak rumah sakit dan juga membangun rumah sakit baru di berbagai daerah. Sejak saat itu pula timbul asumsi bahwa rumah sakit memang seharusnya diurus  oleh pemerintah supaya murah dan kalau mungkin gratis, dan rumah sakit swasta – apalagi yang mencari untung – adalah bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Disini dirancukan antara masalah kepemilikan dan pembiayaan. Anggapan semacam itu masih hidup sampai saat ini.


Di sisi lain banyak dokter yang mempunyai praktek swasta mengembangkan tempat praktiknya menjadi rumah sakit. Demikian pula bidan yang semula memiliki dan mengelola rumah bersalin mengembangkan sarana itu menjadi rumah sakit. Karena rumah sakti adalah usaha padat karya, padat teknologi dan padat modal, maka kemudian kepemilikan rumah sakti sering dilakukan secara bersama-sama. Selanjutnya kemudian muncul rumah sakit yang dimiliki oleh pemodal tanpa perlu latar belakang kesehatan. Maka menjamurlah rumah sakit swasta dengan kepemilikan yang berbeda, orientasi berbeda, dan bahkan bentuk serta sarana yang bervariasi. Semua itu terjadi karena tidak adanya pengaturan yang jelas dari pemerintah. Pengaturan yang ada, yaitu PERMENKES 190/86 tidak jelas arahnya dan dilatarbelakangi oleh anggapan yang hidup saat itu bahwa usaha rumah sakit tidak boleh mencari untung. Dengan makin besarnya modal yang diperlukan untuk membangun sebuah rumah sakit, termasuk rumah sakit pemerintah, dan makin besarnya biaya operasionalnya, pengharaman mencari untuk menjadi sebuah retorika kosong.


Perilaku dokter sendiri juga tidak mendukung munculnya rumah sakit yang benar-benar dikelola secara professional sehingga mampu memberikan layanan yang bermutju karena ternyata para dokter juga berorientasi mencari untung tanpa melihat apakah cara yang ditempuhnya merugikan pasien atau tidak. Pada ujungnya masyarakat harus membayar mahal bukan saja karena tarifnya, juga mahal karena pelayanan yang diterima tidak bermutu, tidak efisien dan tidak pula efektif.



LANDASAN FILOSOFIS


Pada umumnya masyarakat manusia beranggapan bahwa seorang yang terkena musibah dan yang sakit tidak mampu menolong dirinya sendiri. Ia memerlukan pertolongan dari orang lain setidaknya dari keluarganya dan dari orang yang dianggap mampu memberikan perawatan serta penyembuhan. Dengan filosofi semacam itu pula masyarakat melihat profesi dokter dan rumah sakit. Mereka diharapkan siap dan bersedia memberikan pertolongan bagi orang sakit tanpa meminta imbalan atu bayaran. Kalaupun pasien atau keluarga akan membayar hal itu sebatas dianggap sebagai tanda terima kasih yang besar dan bentuknya terserah kepada pasien atau keluarganya. Maka ketika dokter dan rumah sakit menetapkan tariff dengan perhitungan ekonomis, masyarakat cenderung menolak dan menuduh telah terjadi komersialisasi profesi serta menganggap dokter dan rumah sakit telah kehilangan rasa kemanusiaan. Pola piker semacam itu pula yang nampak membayangi PERMENKES 920/86 tentang penyelenggaraan rumah sakit.


Di negara yang maju, pemerintah mengambil alih sistem pembayaran kepada dokter dan rumah sakit melalui pengaturan-pengaturan yang kemudian dikenal sebagai asuransi kesehatan yang universal. Dengan cara itu masyarakat tidak perlu memikirkan berapa dan darimana membayar jasa pelayanan medik yang diterimanya.


Fungsi rumah sakit di jaman modern juga tidak sesederhana jaman dulu karena ia kini juga harus menjadi sarana pendidikan bagi tenaga kesehatan dan penelitian selain sarana penyembuhan dan perawatan. Bahkan beberapa rumah sakit juga menjalankan fungsi pencegahan (penyakit dan komplikasi dari penyakit) dan peningkatan kualitas kesehatan. Dengan demikian ia juga harus selalu mengikuti perkembangan teknologi kedokteran dan kesehatan yang kemudian membuat rumah sakit masa kini jadi padat teknologi.


Pengelolaan rumah askit di jaman sekarang juga tidak sesederhana masa lalu karena ia harus juga memperhitungkan aspek ekonomi dan non ekonomi pada setiap langkahnya. Sebuah rumah sakit harus juga memikirkan untuk meningkatkan kesejahteraan pemeliharaan, penggantian dan peningkatan sarananya secara terencana. Ini membuat pengelola rumah sakit masa kini  harus mampu menyusun proyeksi kebutuhan tahun depan dan dengan demikian juga pendapatan untuk membiayari kebutuhan tersebut. Dengan kata lain rumah sakit – baik milik pemerintah atau swasta – harus mencari kelebihan hasil usaha yang dapat juga disamanakn dengan keuntungan kalau ingin tetap “survive” di tahun-tahun berikutnya.


Di sisi lain masyarkat mempunyai hak utnuk mendapatkan pertolongan dan perawatan jika mereka memerlukan, tanpa diskriminasi apakah ia kaya atu miskin karena pada dasarnya fungsi utama dokter dan rumah sakit adalah menggantikan fungsi keluarga, tetangga, atau pendeta pada jaman dulu terhadap orang yang dianggap tidak berdaya untuk menolong dirinya sendiri. Disinilah awal terjadinya konflik moral antara fungsi rumah sakit dengan orang sakit yang memerlukan pertolongan. Dokter dan rumah sakit secara moral tidak boleh memanfaatkan posisi orang sakit sebagai obyek untuk mencari keuntungan finansial, meskipun secara sah mereka harus melakukan perhitungan ekonomis seperti diuraikan diatas.


Disinilah  negara secara moral mempunyai kewajiban untuk melakukan pengaturan yang seimbang, adil dan berlaku bagi semua orang agar masyarakat dapat memperoleh pertolongan medik ketika memerlukan tanpa mengalami deskriminasi, dan dokter/rumah sakit tetap dapat bertahan hidup. Jangan sampai dokter / rumah sakit bernasib seperti lilin yang menerangi sekitarnya dengan cara membiarkan dirinya habis terbakar. Jika hal itu terjadi maka masyarakat juga yang akan merugi. 


UUD 1945 juga telah memberi amanat kepada penyelenggara negara sesuai dengan pasal 28 (khususnya 28 H) dan padal 34. Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa landasan  moral mengapa diperlukan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan rumah sakit adalah :

  1. 1. Memenuhi amanat konstitusi
  2. 2. Mewujudkan hak rakya atas kesehatan
  3. 3. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan medik yang bermutu dan bertanggung jawab.
  4. 4. Menyediakan sarana pendidikan dan pengembangan ilmu dan pengetahuan kedokteran di Indonesia.
  5. 5. Memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara pelayanan rumah sakit.



LANDASAN SOSIOLOGIS


Masyarakat Indonesia sangat majemuk dengan tingkat pendidikan yang pada umumnya masih rendah. Dengan tingkat pendidikan seperti itu dan paparan teknologi informasi yang sudah modern seperti radio dan televisi, sering mereka mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap pelayanan umum termasuk rumah sakit. Di sisi lain tingkat pendidikan yang rendah dan juga ekonomi yang rendah mereka berharap bahwa seyogyanya layanan umum terutama layanan medik haruslah gratis atau murah.


Pemahaman tentang proses terjadinya penyakit yang rendah sering membuat penyakit yang seharusnya dapat dicegah melalui perilaku hidup yang sehat, banyak terjadi. Di sisi lain konsep bahwa jatuh sakit adalah  musibah dan orang sakit adalah seorang yang tidak berdaya, membuat mereka berharap bahwa proses penyembuhan bagi yang sakit melalui rumah sakit menjadi tanggung jawab pemerintah, yang mereka anggap mempunyai kewajiban untuk menjamin kesejahteraan rakyat.


Bagi sebagian rakyat yang berpendidikan lebih tinggi dan secara ekonomis lebih mampu, mereka cenderung hendak mendiktekan keinginannya kepada pelayanan medik hanya karena mereka mampu membayar, tanpa melihat apakah hal itu diperlukan dan apakah hal itu efisien. Sikap semacam ini ikut mendorong terjadinya pelayanan medik, baik oleh dokter maupun rumah sakit, yang tidak bermutu, tidak efisien dan juga sering berlebihan. Secara ekonomis hal ini justu tidak menguntungkan karena banyak dana yang terboroskan untuk pelayanan yang tidak perlu dan sering juga justru dapat membahayakan kesehatan.


Bagi pengusaha rumah sakit yang berorientasi mencari untung semata, hal ini menjadi peluang untuk  mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan lebih memperhatikan selera hedonik kelompk yang mempunyai uang dan melupakan kepentingan yang mendasar dari perlunya kehadiran sebuah rumah sakit. Bahkan timbul gejala-gejala persaingan yang tidak sehat di antara sesama rumah sakit serta mendorong banyak pemerintah daerah ikut-ikutan melihat rumah sakit sebagai peluang untuk menambah PAD.


Persaingan seperti ini serta orientasi mencari untuk secara tidak sehat melalui penyediaan rumah sakit perlu diatur agar kepentingan rakyat yang sebenarnya tidak terabaikan.


LANDASAN YURIDIS


Sebagaimana diuraikan diatas UUD 1945 mengamanatkan agar negara hak-hak rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan serta jaminan social tanpa diskrimasi, baik bagi yagn secara ekonomis mampu maupun yang miskin dan anak-anak terlantar.


UU lain yang mungkin berkaitan dan perlu dikaji dalam mempersiapkan RUU tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit ini adalah :

  1. 1. UU Kesehatan (yang lama atu RUU yang baru)
  2. 2. UU Tenaga Kerja (?)
  3. 3. UU Yayasan
  4. 4. UU Perseroan Terbatas
  5. 5. UU Lingkungan
  6. 6. UU Otonomi Daerah


BAB-BAB (MUATAN POKOK)


Bab-bab pokok yang perlu diatur dalam RUU Rumah Sakit ini antara lain :


BAB I

Ketentuan Umum


BAB II

Asas dan Tujuan


Menjelaskan tujuan UU RS yang juga menegaskan bahwa UU ini selanjutnya juga berlaku bagi semua RS, baik milik pemerintah, BUMN, TNI, POLRI, Swasta (non profit dan for profit). Secara umum dapatlah dikatakan bahwa tujuan UU ini adalah untuk memungkinkan tersedinaya pelayanan rumah sakit yang menata, bermutu, bertanggung jawab, professional, ilmiah dan terjangkau bagi masyarakat yang memerlukan.


BAB III

Batasan Rumah Sakit


Dalam hal ini ada bebarapa definisi yang dapat dikutip antar lain dari WHO, dsb. Sebagaimana diketahui SHO membuat definisi RS sebagai berikut :

…. a residential establishment which provides short and long term medical care, consisting of observational, diagnostic, therapeutic and rehabilitative services for persons suffering from a disease or injury and for parturiants. It may or may not also provides for ambulatory patiens on out patient basis.


(….. sebuah sarana tinggal yang menyediakan asuhan medik singkat atau lama, yang meliputi pelayanan pengamatan, diagnostik, pengobatan dan pemulihan untuk mereka yang menderita penyakit atau cedera dan untuk yang melahirkan. Ia dapat menyediakan dan dapat juga tidak menyediakan pelayanan untuk pasien rawat jalan)


Menurut Council on Medical Education, AS, Rumah Sakit adalah :

“an institution suitably located, constructed, organized, managed and personneled to supply scientifically, economically, efficiently, and unhindered, all or any recognized part of the complex requirements for the prevention, diagnosis, and treatment of physical, mental, and the medical aspect of social ills; with functioning facilities for training new workers in the many special professional, technical and economic fields essential to the discharge or its proper functions; and with adequate contacts with physicians, other hospitals, medical schools and all accredited health agencies engaged in the better health program”.


Meskipun kedua definisi diatas terlalu rumit dan lebih pada tataran ilmiah ada beberapa hal utama yang mungkin dapat digunakan untuk merumuskan definisi yang sesuai dengan keadaan Indonesia dan kepentingan penyususnan UU.


Beberapa hal itu adalah bahwa rumah sakit adalah “sebuah institusi pelayanan medik yang didirikan untuk menyediakan sarana perawatan, diagnostik, penyembuhan, pemulihan dan pencegahan berbagai penyakit baik fisik maupun mental dengan cara yang ilmiah, efisein, bermutu dan bertanggung jawab, yang dikelola secara professional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan juga mampu untuk menjadi tempat pendidikan tenaga kesehatan dan tenaga yang terkait dengannya”.


BAB IV

Klasifikasi Rumah Sakit


Rumah Sakit dapat digolongkan berdasarkan beberapa hal, antara lain berdasarkan :


  1. 1. Sifat atau jenis pelayanan yang disediakan : Umum dan Khusus

Rumah sakit yang dapat digolongkan sebagai rumah sakit umum adalah yang memberikan pelayanan dengan spektrum luas yang mencakup berbagai pelayanan non spesialistik (umum), spesialistik, untuk semua usia dan jenis kelamin. 

Sedangkan rumah sakit khusus adalah yang mengkhususnya diri pada pelayanan bidang spesialisasi tertentu tanpa ada poliklinik umum, misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit mata, rumah sakit kanker, rumah sakit anak-anak, rumah sakit bedah. Setiap rumah sakit hendaknya menentukan secara tegas sifat rumah sakitnya.


  1. 2. Sarana Pelayanan Diagnostik dan terapi yang dimilikinya.

Pada masa lalu berdasarkan kriteria ini rumah sakit pemerintah dikelompokkan dalam RS tipe A, B, C, dan D. Sementara RS Swasta dalam kelompok Madya, dsb. Untuk selanjutnya jika klasifikasi berdasarkan kriterian ini masih akan digunakan, tiak ada pembedaan lagi antar pemerintah dan swasta. Pengelompokkan ini dulu didasari pada keinginan untuk memudahkan menghitung beban anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah. Pada masa yang akan datang perlu dipikirkan apakah klasifikasi ini masih dapat dipertahankan karena perkembangan teknologi dan kemapuan setiap rumah sakit memungkinkan sebuah rumah sakit berubah sarananya dengan cepat. Dengan juga menghilangkan rasa persaingan antara pemerintah dengan swasta (yang sebenarnya tidak perlu ada) biarkan setiap rumah sakit dan daerah mengembankan kemampuannya memberikan pelayanan berdasarkan pertimbangan kelayakan ekonomis masing-masing.


Klasifikasi A, B, dsb pada masa lalu juga dilandasi konsep sistem rujukan dan perhitungan ekonomi. Pada masa yang akan datang system rujukan hendaknya tidak lagi membatasi berdasarkan wilayah, bahkan harus dikembangkan agar dimanapun juga tersedia sarana rujukan yang lengkap sehingga mempermudah memperoleh pertolongan cepat bagi pasien yang memerlukan.


  1. 3. Kepemilikan

Berdasarkan ini maka ada rumah sakit swasta, rumah sakit pemerintah, rumah sakit tentara, rumah sakit kepolisian, rumah sakit BUMN. Dalam UU in seyogyakarnya juga diatur tentang pengalihan kepemilikan sebuah rumah sakit. Rumah Sakit yang didirikan dan dibiayai dengan uang rakyat (publik) sebaiknya tidak boleh dialihkan kepada swasta tanpa persetujuan rakyat atau DPR (D). Desakan untuk mengalihkan RS Publik menjadi swasta akhir-akhir ini lebih didasari oleh pembatasan sistem anggaran berdasarkan ICW. Daripada mengalihkan RS Publik menjadi swasta, sebaiknya sistem ICW ini yang direvisi. Demikian pula BUMN yang berniat atau sudah memiliki rumah sakit sebaiknya tidak begitu mudah mengubah status rumah sakitnya menjadi swasta karena uang yang dipergunakan untuk membangun pada dasarnya adalah juga uang publik. BUMN dapat mendirikan RS swasta jika bidang bisnis BUMN tersebut memang pada penyediaan pelayanan medik.


  1. 4. Motivasi yang mendasari pendirian

Dalam klasifikasi ini ada dua kelompok rumah sakit, yaitu yang bermotivasi mencari untung untuk kemudia keuntungan dibagi sebagai deviden kepada pemegang saham (for profit) dan yang tidak bermotivasi seperti itu (not for profit) karena keuntungan yang diperloleh tidak digunakan untuk dibagi sebagai deviden tetapi untuk kegiatan social lainnya. Para pemilik rumah sakit harus jelas dalam hal ini, dan sudah saatnya kita tidak melihat bahwa adalah haram  untuk mencari untung dari usaha pelayanan medik. Dengan adanya UU Yayasan, maka jika memang motivasinya “not for profit” pemiliknya harus berupa yayasan. Dan sebaliknya jika pemiliknya bernama yayasan maka ia harus mematuhi UU Yayasan dan dengan demikian tidak boleh for profit.



BAB V

Pada bab ini diuraikan persyarakatan – persyaratan untuk meminta ijin mendirikan rumah sakit

Mencakup:

  1. 1. Badan hukum pemiliknya
  2. 2. Keabsahan kepemilikan lahan serta luas minimal (sekian meter untuk tiap tempat tidur, untuk ruang tindakan, untuk ruang tunggu, untuk tempat parkir, untuk pekarangan terbuka, untuk pengolahan limbah dsb)
  3. 3. Jenis rumah sakit yang hendak didirikan serta apakah for profit atau not for profit
  4. 4. Kapasitas serta sarana yang dimiliki minimal harus ada : ruang perawatan (sebutkan jumlah tempat tidur), sarana diagnostik minimal, sarana tindakan yang esensial (ruang operasi, ruang persalitan, ruang isolasi, dsb) sarana penunjang (apotek, kamar jenazah, bagian rekam medik, ambulans, dsb.)
  5. 5. Keharusan memiliki tenaga profesional yang bekerja penuh waktu, termasuk dokter umum, dokter spesialis, perawat, apoteker, tenaga teknisi (medical technician), dsb. dengan hubungan kerja yang jelas.
  6. 6. Harus ada sistem pengolahan limbah yang memenuhi syarat
  7. 7. Keharusan memiliki aturan kerja (bye laws) dan konsep penjagaan mutu layanan.






BAB VI

Memuat prosedur mendapat ijin serta prosedur pencabutan ijin jika terjadi pelanggaran


BAB VII

Bab ini mengatur Hak dan Kewajiban rumah sakit, termasuk fungsi sosialnya.


Pengelola rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan yang bermutu, ilmiah dan efisien. Selain itu juga mempunyai kewajiban hukum jika ada perselisihan dengan pasien atau keluarganya baik akibat tindakan tenaga kesehatan yang bekerja disana maupun akibat kekeliruan manajemen.


Mengenai fungsi sosialnya rumah sakit ada beberapa kemungkinan :

  1. 1. Menyediakan sejumlah tempat tidur untuk orang miskin, dengan cara menyerahkan sejumlah tempat tidur itu kepada pemerintah (Kadinkes) untuk keperluan tersebut. Selanjunya pemda/kadinkes yang akan menetapkan pemanfaatan tempat tidur tersebut. Jika masih ada tempat yang disisihkan tersebut, rumah sakit tidak berhak menolak kalau ada pasien miskin yang dirujuk oleh pemerintah dan rumah sakit berkewajiban memberikan pelayanan kepadanya tanpa diskriminasi.

2. Menyisihkan sekian persen dari (proyeksi) keuntungan untuk digunakan membantu perawatan orang miskin. Untuk itu RS harus membentuk “Social Service Department” yang bertugas memverifikasi status miskin pasien tersebut, dan selanjutnya RS berkwajiban memberikan perawatan yang sama dengan pasien yang membayar tanpa diskriminasi. Sebagai kompensasi pemerintah dapat memberikan potongan pajak terhadap dana itu dan akan diaudit kebenarannya.

3. Membina kesehatan rakyat miskin di wilayah sekitar rumah sakit atau di wilayah yang ditunjuk oleh pemerintah. Keberhasilan pembinaan itu akan dievaluasi oleh pemda di akhir tahun.


Dalam hal hak, rumah sakit berhak memperoleh imbalan serta menetapkan tarif perawatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Rumah Sakit juga berhak untuk melakukan pemasaran pelayanannya asal dilakukan secara etis dan tidak menipu konsumen.


BAB VIII

Mengatur tentang pengelolaan


Sudah saatnya kita berharap bahwa rumah sakit harus dikelola secara professional dengan memperhatikan aspek ekonomi, rasa tanggung jawab keilmuan, kepekaan sosial dan menghargai pasien. Juga sudah saatnya tidak mengharuskan direktur harus dijabat seorang dokter, kecuali direktur medik.


Dalam pengelolaan ini rumah sakit harus juga melakukan penjagaan mutu dengan memiliki standar prosedur yang jelas dan akuntabel, mengembangkan “risk management” mengembangkan mekanisme penegakan etika dan melakukan medical audit.


BAB IX

Mengatur tentang ketenagaan serta kejelasan hubungan kerja


Tenaga professional khususnya dokter dan dokter gigi, harus memenuhi syarat sesuai dengan UU Praktik Kedokteraan. Rumah sakit tidak dibenarkan mempekerjakan dokter/dokter gigi yang tidak memenuhi ketentuan UU tersebut. Demikian pula dalam hal tenaga professional yang lain dan tenaga bantu lainnya, harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Rumah sakit juga harus mempunyai pola hubungan kerja yang jelas dengan mereka, khsusunya tenaga dokter/dokter gigi, termasuk kejelasan dalam hak dan tanggung jawabnya jika terjadi kesalahan akibat kelalaian mereka (malpraktik).


BAB X

Mengatur pengelolaan rekam medik


Pada dasarnya isi rekam medik adalah milih pasien dan boleh digunakan dengan “discretion” dari pasien  tersebut. Dengan demikian pasien juga berhak melihat atau bahkan memiliki salinan dari isi rekam medik. Untuk menghindari kekeliruan di kemudian hari, dokter pemeriksa berkewajiban mengisi rekam medik secara terbaca dan jelas (jika perlu dengan sanksi jika tidak dipatuhi).


Pengungkapan isi rekam medik kepada pihak lain harus sesuai denagn peraturan perundangan yang berlaku. Termasuk dalam hal ini rekam medik untuk anggota TNI dan POLRI yang mungkin mempunyai ketentuan khusus, dan rekam medik narapidana yang hak-hak sipilnya sudah dicabut oleh pengadilan.

Perlu pula diatur cara dan lama penyimpanan rekam medik (kecuali jika hal ini sudah diatur dalam UU Kesehatan yang baru).


BAB XI

Ketentuan Peralihan


Dengan adanya undang-undang ini maka semua rumah sakit yang sudah ada harus melakukan penyesuaian, baik rumah sakit pemerintah, tentara, kepolisian, BUMN maupun swasta. Selanjutnya mereka harus memenuhi ketentuan yang ada dalam UU ini.


BAB XII

Sanksi-sanksi


Kartono Mohammad

Jakarta,   Mei  2005













Tidak ada komentar: